Makalah Sistem Pemerintahan dalam Pandangan Islam

  1. 1.       Latar Belakang

Bentuk pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang merujuk kepada syariat. Konstitusinya tercermin dalam prinsip-prinsip Islam dan hukum-hukum syariat yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan dijelaskan Sunnah Nabawy, baik mengenai aqidah, ibadah, akhlak, mu’amalah maupun berbagai macam hubungan. Oleh karena itu hukum yang berlaku harus selalu bersumber dan merujuk kepada hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Kemudian pemerintahan yang dipimpin oleh seorang ulil amri yang dipilih oleh rakyat, untuk menjalankan tugas-tugas kepemerintahan guna terciptanya kondisi masyarakat yang sehat (moral dan fisik) serta sejahtera.

Sengaja ataupun tidak pengaburan mengenai konsep pemerintahan Islam telah terjadi dan semakin meluas. Sebagai contoh sekitar dua tahun silam terbitnya buku yang berjudul “ilusi negara Islam”, telah menggambarkan setiap gerakan yang berusaha mewujudkan penerapan syariat pada setiap pribadi muslim hingga pada tingkat masyarakat luas, seperti ikhwanul muslimin, HTI dan salafi sebagai sumber inspirasi dari terjadinya berbagai kekerasan di negeri ini. Hal seperti ini membuat paradigma seolah Islam adalah sumber dari segala tindak kekerasan. Sehingga konsep pemerintahan yang berasaskan Islam harus segera ditolak, karena hanya akan memunculkan sistem “totalitarisme” yang pasti akan menuju kepada kediktatoran.(Pendapat seperti ini muncul karena melihat beberapa corak pemerintahan yang ada pada negara timur tengah, namun perlu kita perjelas bahwa walau negara-negara timur tengah menyatakan islam sebagai agama negara. akan tetapi sistem pemerintahan yang ada di sana belumlah bisa dikatakan sebagai pemerintahan Islam.)

Rumusan Masalah

  • Bagaimana Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah ?
  • Bagaimana Sistem pemerintahan dalam Islam yang bukan republik dan juga bukan demokrasi ?
  • Bagaimana Sistem pemerintahan Islam bukan kerajaan (monarki) ?
  • Bagaimana Sistem pemerintahan dalam Islam bukan imperium ?
  • Bagaimana Sistem pemerintahan Islam bukan federasi ?
  • Jelaskan sistem Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler ?
  1. 2.     Pembahasan

 

Sistem Pemerintahan Islam adalah Sistem Khilafah yang Telah Diwajibkan oleh Rabb Semesata Alam Bukan Sistem Republik, Demokrasi, Kerajaan, Imperium ataupun Federasi. 

Apa yang terjadi di Suria sejak lebih dari satu setengah tahun lalu memiliki tema yang sama. Yaitu bahwa rezim Ba’ats penjahat dan negara-negara besar di dunia berkonspirasi melawan rakyat kita di Suria supaya Suria tidak keluar dari kontrol mereka. Yaitu supaya Suria tetap sebagaimana adanya sebagai negara yang tunduk, mengekor dan menjaga perbatasan negara Yahudi. Negara-negara itu mulai menetapkan berbagai syarat dan karakteristik untuk Suria pasca Asad. Maka dari mimbar-mimbar TV channel upahan dan melalui mulut oposisi yang berjuang dari hotel bintang lima diumumkanlah bahwa masa depan Suria akan menjadi negara demokrasi sipil dan bahwa masalah di Suria adalah masalah menjatuhkan atau mengusir kepala rezim dan membentuk pemerintahan yang tidak menindas siapa pun dan mereka klaim secara dusta sebagai tuntutan masyarakat. Akan tetapi warga kita tetap tegar menghadapi alat-alat pembunuhan dan penghancuran dan tidak memandang selain Islam dan pemerintahan menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT sebagai masa depan untuk Suria. Mereka mengungkapkan hal itu dalam berbagai demonstrasi yang dilupakan oleh media-media massa. Hal itu tampak jelas pada nama-nama kesatuan pasukan, panji dan slogan-slogan.

Kami di Hizbut Tahrir menjelaskan kepada kaum Muslimin di Suria dan di seluruh negeri kaum Muslimin tentang bentuk pemerintahan Islam agar permasalahannya bertransformasi dari slogan-slogan yang mereka harapkan kembalinya menjadi fakta riil dan jelas di dalam benak mereka, tertanam kuat di dalam pikiran mereka dan mereka curahkan semua daya upaya untuk menancapkan dan merealisasinya.

 

  1. Sistem pemerintahan dalam Islam adalah sistem Khilafah

Khilafah secara syar’i adalah kepemimpiman umum bagi kaum Muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syara’ islami dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Khilafah adalah imamah itu sendiri. Khilafah adalah bentuk pemerintahan yang dinyatakan oleh hukum-hukum syara’ agar menjadi daulah Islam sebagaimana yang didirikan oleh Rasulullah saw di Madinah al-Munawarah, dan sebagaimana yang ditempuh oleh para sahabat yang mulia setelah beliau. Pandangan ini dibawa oleh dalil-dalil al-Quran, as-Sunnah dan yang menjadi kesepakatan ijmak sahabat. Tidak ada yang menyelisihinya di dalam umat ini seluruhnya kecuali orang yang dididik berdasarkan tsaqafah kafir imperialis yang telah menghancurkan daulah Khilafah dan memecah belah negeri kaum Muslimin.

 

  1. Sistem pemerintahan dalam Islam bukanlah republik dan juga bukan demokrasi

 

Sistem republik demokrasi adalah sistem buatan manusia yang tegak di atas asas pemisahan agama dari kehidupan dan menetapkan kedaulatan sebagai milik rakyat. Jadi rakyatlah yang memiliki hak menetapkan hukum dan syariat. Rakyat yang memiliki hak mendatangkan penguasa dan mencopotnya. Rakyat pula yang memiliki hak menetapkan konstitusi dan undang-undang. Sementara sistem pemerintahan Islam itu berdiri di atas asas akidah islamiyah dan berdasarkan hukum-hukum syara’. Kedaulatan dalam sistem pemerintahan Islam adalah milik syara’ bukan milik rakyat. Umat maupun khalifah tidak memiliki hak membuat hukum. Yang menetapkan hukum adalah Allah SWT. Akan tetapi Islam menetapkan kekuasaan dan pemerintahan menjadi milik umat. Umat lah yang memilih orang yang memerintah umat dengan islam dan mereka baiat untuk menjalankan hal itu. Selama khalifah menegakkan syariah, dan menerapkan hukum-hukum Islam maka dia tetap menjadi khlaifah berapapun lamanya masa jabatan khilafahnya. Dan kapan saja ia tidak menerapkan hukum Islam maka masa pemerintahannya berakhir meski baru satu hari atau satu bulan, dan ia wajib dicopot. Dari situ kita memandang bahwa ada kontradiksi yang besar antara kedua sistem (Republik demokrasi dengan Khilafah) dalam hal asas dan bentuk masing-masingnya. Atas dasar itu, maka tidak boleh sama sekali dikatakan bahwa sistem Islam adalah sistem republik, atau bahwa Islam menyetujui demokrasi.

Ada yang mengatakan bahwasanya demokrasi sesuai dengan ajaran Islam. Adapula yang berpendapat demokrasi adalah bentuk kekufuran dan bertentangan dengan Islam. Oleh karenanya, sebelum kita mengkaji lebih lanjut. Alangkah lebih baik kita melihat kembali seperti apa pemahaman demokrasi menurut negeri asal lahirnya demokrasi ini.

Karena, apabila orang Eropa atau Amerika berbicara tentang “demokrasi”, “liberalisme”, “sosialisme”, “teokrasi”, pemerintahan parlementer, dan lain-lain. Ia mempergunakan istilah-istilah di dalam lingkungan pengalaman sejarah Barat. Di dalam lingkungan ini istilah-istilah itu dapat segera menimbulkan gambaran di dalam pikiran tentang apa yang sebenarnya telah terjadi atau mungkin akan terjadi di dalam perkembangan sejarah Barat, dan karena itu dapat melewati perubaha-perubahan yang ditimpakan oleh jaman ke atas semua konsep yang di buat oleh manusia.

Bahkan lebih dari itu, pemahaman konsep tersebut berubah-ubah – yakni kenyataan bahwa banyak istilah politik yang dipakai kini mengandung makna yang berlainan dengan makna yang diberikan orang pada awalnya – , sehingga terdapat urgensi karena peristilahan politik ini adalah suatu hal yang memerlukan peninjauan kembali dan penyesuaian kembali.

Namun pengertian yang bersifat dapat berubah-ubah ini menjadi “lenyap”, karena suatu konsep politik yang sudah jadi itu dipinjam oleh bangsa lain yang memiliki suatu peradaban yang berlainan, dan telah melewati pengalaman-pengalaman sejarah yang berbeda pula. Bagi bangsa tersebut, istilah atau sistem politik itu mempunyai makna yang mutlak dan tidak berubah-ubah dan karena itu tidak dipertimbangkan kenyataan evolusinya di dalam sejarah. Sebagai akibatnya, paham politik menjadi beku dan kaku.Untuk lebih mudah memahaminya, maka kita akan lihat bagaimana Barat memahami demokrasi tersebut.

Di sebagian besar dunia Barat, meski tidak seluruhnya, sampai saat ini istilah demokrasi digunakan dalam arti yang melekat pada Revolusi Prancis, yaitu: asas persamaan sosial politik bagi semua warga negara, dan asas persamaan oleh seluruh penduduk yang dewasa dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih mereka, berdasarkan “seorang punya satu suara” (one man one vote).

Dalam artian lain, istilah ini meliputi hak rakyat yang tak terbatas untuk membuat undang-undang dengan suara terbanyak mengenai semua hal yang menyangkut kehidupan bersama. Jadi, “kemauan rakyat”, setidak-tidaknyanya di dalam teori sebagai sesuatu yang bebas dari semua tekanan pihak luar, yang berdaulat sendiri dan bertanggung jawab kepada diri sendiri.

Jelaslah bahwa konsep demokrasi ini jauh sekali berbeda dengan apa yang dimaksud oleh pencipta istilah itu, yakni bangsa Yunani Kuno. Bagi mereka “pemerintahan dari atau oleh rakyat” (yang dimaksud oleh kata demokrasi) mengandung arti suatu pemerintahan yang sangat oligarkis bentuknya. Di dalam “negara-kota” mereka, istilah rakyat sama artinya dengan “warga negara”, yaitu penduduk negara yang dilahirkan bebas, yang jarang sekali melebihi sepersepuluh dari jumlah penduduk. Selebihnya adalah budak dan sahaya yang tidak dibolehkan melakukan lain dari pekerjaan tangan, meskipun mereka kerap kali diwajibkan untuk dinas militer, mereka tidak mempunyai hak-hak sebagai warga negara sama sekali. Hanya lapisan paling atas dan tipis dari penduduk – yang disebut warga negara – yang mempunyai hak pilh aktif dan pasif. Dengan demikian semua kekuasaan politik terpusat di tangan mereka.

Maka bila dipandang dari pespektif sejarah, demokrasi seperti yang dipahami oleh bangsa Barat modern sebenarnya lebih dekat kepada konsep Islam tentang kebebasan dari pada konsep Yunani Kuno. Islam menegaskan bahwa manusia sama dan karena itu harus diberi kesempatan yang sama untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan dirinya. Disamping itu, Islam juga mewajibkan kaum muslimin menundukan keputusan-keputusan mereka berdasarkan tuntunan Hukum Allah yang diwahyukan di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Suatu kewajiban yang memberi batas-batas tertentu bagi hak masyarkat dalam membuat undang-undang serta tidak memberikan kekuasaan absolut bagi “kemauan rakyat”, yang telah merupakan suatu bagian yang integral dan konsep Barat mengenai demokrasi.

Jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi, demokrasi sendiri bisa dikatakan suatu pemahaman yang abstrak. Karena dengan membaca uraian diatas bagaimana istilah demokrasi tentang kebebasan digunakan dengan makna yang amat berlainan. Maka penerapannya pada politik Islam pasti akan menimbulkan suasana kesamar-samaran dan kecenderungan seperti “aksi tipuan sulap” dengan kata-kata indah namun tidak tepat sasaran. Berbeda sekali dengan konsep Islam yang jelas.

  1. Sistem pemerintahan Islam bukan kerajaan (monarkhi)

 

 Sistem pemerintahan Islam tidak mengakui sistem kerajaan (monarkhi) dan tidak menyerupai sistem monarkhi. Sistem monarkhi, pemerintahannya bersifat turun temurun, diwarisi anak dari bapaknya sebagaimana anak mewarisi harta peninggalan bapak. Sistem monarkhi memberi Raja keistimewaan dan hak-hak khusus, yang tidak boleh disentuh. Sementara sistem Islam tidak mengkhususkan khalifah atau imam dengan suatu keistimewaan atau hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki sesuatu kecuali sama seperti yang dimiliki oleh individu-individu umat. Sistem pemrintahan Islam tidak diwariskan. Khalifah bukan seorang raja, melainkan dia adalah wakil dari umat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan. Ia dipilih dan dibaiat oleh umat dengan keridhaan untuk menerapkan syariah Allah kepada umat. Khalifah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan dan pemeliharaannya terhadap urusan dan kemaslahatan umat terikat dengan hukum-hukum syara’.

 

  1. Sistem pemerintahan dalam Islam bukan imperium

 

Sistem imperium sangat jauh dari Islam. Sebab sistem imperium tidak menyamakan diantara golongan masyarakat di wilayah-wilayah imperium dalam hukum. Sebaliknya imperium menetapkan keistimewaan untuk pusat imperium dalam hal pemerintahan, keuangan dan perekonomian. Metode Islam dalam pemerintahan adalah menyamakan antara semua rakyat yang diperintah di seluruh bagian daulah, mengingkari sektarianisme rasial, memberi kepada non muslim yang menjadi warga negara seluruh hak-hak dan kewajiban syar’i mereka, sehingga mereka memiliki hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh kaum muslimin secara adil. Maka dengan persamaan ini sistem pemerintahan Islam berbeda dari imperium. Dengan sistem ini, sistem pemerintahan Islam tidak menjadikan daerah-daerah sebagai jajahan. Sumber daya tidak dikumpulkan di pusat untuk manfaat pusat saja. Sebaliknya seluruh bagian daulah dijadikan sebagai satu kesatuan betapapun jauh jaraknya dan betapapun beragam suku dan bangsanya. Setiap daerah dinilai sebagai bagian integral dari tubuh daulah. Penduduknya memiliki seluruh hak yang dimiliki oleh penduduk pusat, atau daerah lain manapun. Kekuasaan pemerintahan, sistem dan hukumnya adalah sama untuk seluruh daerah.

 

  1. Sistem pemerintahan Islam bukan federasi

Daerah-daerahnya terpisah dengan kemerdekaan sendiri, dan menyatu dalam pemeritahan umum (federal). Akan tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan, di dalamnya berbagai daerah dan propinsi dinilai sebagai bagian dari satu negara yang sama. Keuangan daerah-daerah semuanya dinilai sebagai satu keuangan dan satu neraca (anggaran) yang dibelanjakan untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Sistem pemerintahan Islam merupakan satu kesatuan yang sempurna, dimana kekuasaan tertinggi dibatasi hanya di pusat umum dan ditetapkan memiliki kontrol dan kekuasaan terhadap semua bagian daulah kecil ataupun besar. Tidak diperkenankan adanya kemerdekaan untuk bagian manapun dari bagian daulah sehingga bagian-bagian daulah tidak tercerai berai.

Maka mari kita tegaskan bersama, bahwasanya hal tersebut adalah suatu kekeliruan yang sangat nyata. Sesungguhnya apa yang digambarkan oleh orang-orang semacam yang menerbitkan buku tersebut, hanyalah manifestasi dari pada imajinasi ketakutan mereka terhadap penerapan syariat.

Kewajiban kita adalah untuk senantiasa taat kepada Allah, barangsiapa terdapat keimanan dihatinya sungguh ia tidak akan menyanggah hal ini. Termasuk kepadanya tuntutan dari iman adalah menerima serta ikhlas dengan segala ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan Allah, dalam hal ini menjalankan syariat menjadi hal yang wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya perlulah dipertanyakan keimanan pribadi yang enggan menerapkan syariat dalam kehidupannya.

Konsep pemerintahan Islam adalah sebagaimana dijelaskan dalam nash Al-Qur’an, yakni pada surat An-Nisaa’ ayat 58-59. Bahwa pemerintahan Islam berdasarkan kepada tiga aturan penting yakni taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Taat kepada yang memegang kekuasaan di antara umat dan mengambalikan kepada Allah dan Rasul-Nya, jika terjadi perselisihan dengan pihak yang berkuasa.

Perihal ketentuan pemerintahan dalam syariat yang berupa nash, ia tidak menjelaskan seluruh permasalahan secara terperinci, akan tetapi yang disebutkan adalah pokok-pokok ataupun kerangka sebagai pondasi dasar dan aturan main yang jelas. Dan dalam hal terperinci tersebut dilakukanlah proses ijtihad yang tidak keluar dalam kerangka syariat. Hal ini menunjukan keluasan hukum syariat yang memang mampu untuk diterapkan dalam setiap masa. Kenapa seperti itu! Karena permasalahan politik dan negara adalah permasalahan yang selalu berkembang dari masa-kemasa bahkan setiap hari persoalan baru dalam pemerintahan bisa selalu muncul. Pemerintahan yang ideal selalu bisa beradaptasi dalam artian menyesuaikan setiap permasalahan tanpa mengganggu konstistusi serta tatanan kenegaraan. Maka bisa dikatakan bahwa pemerintahan Islam selalu memperhatikan kondisi aktual dan mampu menerapkan kebijakannya selaras dengan perkembangan jaman.

Hal ini penah ditunjukan pada pemerintahan Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana kita ketahui bahwa ke empat masa pemerintahan khalifah ini, adalah pemerintahan yang melukiskan dan bentuk representasi dari pemerintahan Islam. Jika kita pelajari bahwa kebijakan-kebijakan dalam setiap masa khalifah ini memiliki beberapa perbedaan yang dipengaruhi perkembangan kondisi negeri. Sebagai contoh, adalah kebijakan khalifah Umar bin Khattab yang tidak memberikan tanah hasil rampasan perang (ghanimah) kepada para tentara, akan tetapi seluruh tanah tersebut diserahkan dan dikelola pemerintah. Sebagai gantinya para prajurit mendapat penghasilan tetap dari pemerintah. Karena sebelumnya sejak masa Nabi tanah kekuasaan hasil perang, dibagi persekian persen untuk para prajurit -sahabat yang turut berperang – dan sisanya baru diserahkan kepada pemerintahan. Kebijakan ini diambil salah satunya karena alasan daerah kekuasaan Islam yang sudah semakin luas karena penaklukan negeri-negeri, sehingga tidak mungkin seluruh tanah tersebut diserahkan kepada para prajurit. Serta kebutuhan pemerintahan akan pertahanan dari pihak luar, sehingga dibentuklah prajurit professional yang dibrikan tunjangan oleh pemerintah.

  1. 6.      Pemerintahan Islam dan Pemerintahan Sekuler

Pemerintahan Islam jauh berbeda dengan pemahaman yang berkembang di Barat. Maka penggunaan teori maupun istilah Barat, seperti demokrasi, sosialis, liberal dan semacamnya tidak akan mampu menggambarkan konsep pemerintahan Islam secara sempurna. Namun anehnya, tidak jarang kita dapatkan di dalam tulisan-tulisan sosok yang mengaku sebagai cendekiawan Islam modern, memberikan pernyataan bahwa “pemerintahan Islam itu adalah suatu pemerintahan yang demokratis”, atau malahan ada yang berkata bahwa pemerintahan Islam bertujuan menegakan suatu masyarakat “sosialis”. Hal seperti ini dapat mengakibatkan distorsi pemahaman tentang konsep pemerintahan Islam yang sebenarnya.

Sekulerisme itu adalah asas yang bertolak belakang dengan Islam. Akan tetapi terdapat beberapa orang di negeri ini yang berupaya memperjuangkan asas sekulerisme ini. Selalu saja bagi mereka asas sekulerisme (keduniaan) yang secara otomatis diidentifikasi sebagai kemajuan (progress). Maka setiap anjuran untuk memandang politik praktis dan perencanaan sosial ekonomi dalam sudut pandang keagamaan, dituding sebagai suatu sikap reaksioner, atau setidak-tidaknya sebagai “idealisme yang tidak praktis”. Tampaknya, saat ini tidak sedikit pula cendikiawan muslim mempunyai pendapat serupa. Dan dalam hal ini kentara sekali pengaruh dari pemikiran Barat.

Sesungguhnya berkembangnya pemahaman sekuler ini di Barat, disebabkan oleh hal-hal di dalam lingkungan mereka sendiri, bangsa-bangsa Barat telah dikecewakan oleh agama (agama mereka). Sehingga wajar saja jika mereka berupaya sedemikian rupa untuk memisahkan agama dengan urusan pemerintahan. Upaya untuk meniru sistem Barat ini, dengan menganggap segala yang berasal dari Barat adalah “up to date” adalah bentuk dari kelemahan dan kebodohan. Suatu kesalahan jika berupaya menerapkan asas tersebut kepada negeri kita, karena bangsa kita tidak pernah mengalami apa yang dahulu dialami oleh bangsa Barat.

Kemudian dalam pemerintahan sekuler, segala keputusan dan ketentuan tidak berlandaskan atau paling tidak memperhaitkan pada hukum moral atau akhlak. Tetapi berlandaskan dan hanya melihat berdasarkan kepentingannya sendiri (expediency) sebagai satu-satunya kewajiban yang di bawahnya pemerintahan harus ditundukan. Dan suatu kepastian bahwa pendapat apa yang menjadi kepentingan sendiri itu pasti berbeda-beda pada tiap kelompok, partai, bangsa dan masyarakat. Maka pastilah terjadi kepentingan yang membingungkan dalam perkara politik (nasional maupun internasional). Sebab telah jelas, apa yang dinilai sebagai kepentingan sendiri oleh suatu kelompok atau bangsa, tidak selamanya sama dan sebangun dengan kepentingan kelompok atau bangsa lain.

Pemerintahan sekuler inilah yang tidak menundukan dirinya pada tuntutan moral yang obyektif. Akan tetapi semua berupaya memperjuangkan kepentingan masing-masing yang sudah pasti berbenturan antara satu sama lain. Sehingga makin genjar pertentangan ide terjadi antara mereka tantang apa yang benar dan apa yang salah di dalam hubungan manusia, dikarenakan kacamata berfikir mereka adalah tercapainya kepentingan itu. Pendeknya, di dalam pemerintahan sekuler yang modern pada saat ini: tidak terdapat norma yang kokoh yang mampu digunakan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, dan antara yang benar dan yang salah. Inilah yang ungkapan yang dijelaskan oleh Muhammad Assad.

Jadi satu-satunya kriteria yang mungkin adalah “kepentingan bangsa”. Tetapi karena tidak ada satu ukuran yang obyektif dalam nilai-nilai kesusilaan, maka berbagai kelompok manusia – bahkan di dalam suatu bangsa – mungkin dan biasanya memiliki pandangan yang berlainan tentang apa yang merupakan kepentingan utama suatu bangsa. Seorang kapitalis dengan amat tulusnya percaya, bahwa peradaban manusia akan hancur jika liberalisme ekonomi digantikan oleh sosialisme. Sementara, seorang sosialis dengan amat tulusnya pula berpendapat, bahwa peradaban itu dapat dipelihara hanya dengan kapitalisme telah diganti dengan sosialisme. Mereka masing-masing memiliki pandangan kesusilaannya sendiri, yakni konsep tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan terhadap orang lain. Dan pandangan kesusilaan ini tergantung hanya pada pandangan ekonominya semata. Akibatnya: kekacauan di dalam hubungan timbal balik antar mereka.

Dengan kata lain pemerintahan sekuler adalah pemerintahan yang rapuh dari dalam, karena tidak adanya kesatuan yang mampu mengikat mereka. Berlainan dengan pemerintahan Islam yang mampu mempersatukan setiap diri umat dengan risalah yang tidak terpengaruh oleh perbedaan-perbedaan yang bersifat fisik serta mampu menyatukan visi dan misi dalam pemahaman yang jelas.

Daftar Pustaka

Dar al-Fikr, 2005,Bernegara Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999,

As-Shiddiqie, Jimly, Islam dan Kedaulatan Rakyat, Jakarta: GIP, 1995.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina,1998.

Madjid, Nurcholish, Cita-cita Politik Islam Era Reformasi, Jakarta:Paramadina, 1999.

Zallum, Abdul Qadim, Nidhamul Hukmi fil Islam, diterj. Maghfur, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil: Al-Izzah, 2002

http://hizbut-tahrir.or.id

Tentang Andhika Pratama

Saya Mencintai Kebijaksanaan
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar